Bagaimana Menjadi Seorang Kejawen Sejati?
Caranya; puasa lah mutih Senin Kamis, pada saat menjalani puasa tersebut tanyakan pada diri sendiri (dasar2 Olah Roso), apakah Anda suka membohongi diri Anda sendiri? Kalau jawabannya, Anda suka membohongi diri Anda sendiri, maka Anda bukan orang yang cocok untuk Menjadi Seorang Kejawen....
Kejawen adalah orang yang memeluk Agami Jawi. Jawi sendiri memiliki arti dan makna : Berbudi Luhur. Jadi Agami Jawi bukan Agamanya orang Jawa saja, melainkan Agamanya orang yang ingin Berbudi Luhur...

Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik

Tidak ada satu Agama pun di dunia, yang bisa membuat orang jadi baik. Yang ada; Orang baik dan mempunyai niat yang baik, menggunakan Agama apa pun, untuk tujuan kebaikan. Pasti dia akan jadi baik.
Jadi pilihlah Agama yang sesuai dengan Hati Nurani.

Makna Kejawen bagi saya pribadi...

Awalnya saya selalu mencari-cari jati diri saya sendiri. Sampai satu saat, saya bergabung dengan Komunitas Pencinta Alam.

Mulailah saya mengikuti kegiatan-kegiatan komunitas tersebut. Dari mulai naik gunung, hingga melakukan berbagai macam kegiatan sosial. Terasa kebersamaan yang teramat sangat di komunitas ini. Disinilah, awal jati diri saya terbentuk secara alami, dimana kita harus saling menolong tanpa ada unsur pamrih. Dan lebih lanjut saya belajar mengenai arti keikhlasan menolong itu sendiri. Sebab, jika kita sedang di atas Gunung, arti tolong menolong sudah tidak ada lagi, yang ada adalah kebersamaan.

Dan ketika arti kebersamaan itu muncul sebagai pola interaksi, maka keikhlasan menolong, atau kepasrahan untuk ditolong itu akan tumbuh dengan sendirinya.

Pola interaksi komunitas ini pada umumnya adalah, erat dan hangat satu sama lainnya. Tetapi terkadang terjadi gesekan yang sangat, ketika mereka mulai berdiskusi mengenai agama masing-masing.

Sampai satu saat diantara mereka, ada yang berdebat mengenai kemutlakan. Dimana mereka dapat saling mematahkan kemutlakan-kemutlakan dari masing-masing agama, lawan bicaranya.

Tidak etis kalau saya jabarkan, kemutlakan apa yang mereka perdebatkan. Tetapi yang jelas, membuat saya pada kesimpulan, bahwa kemutlakan masing-masing agama yang mereka anut, tidak menjadi mutlak, jika tidak diikuti dengan ke-Iman-an, masing-masing agama mereka sendiri.

Dari situlah saya mulai berfikir, mengenai apa dan bagaimana "Kemutlakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa," yang tidak dapat dipatahkan dengan dalil apapun, tanpa memakai kata-kata ke-Iman-an, yang notabene hanya sebagai kuncian, agar para penganut masing-masing agama tidak lari meninggalkan agama-nya, karena tidak dapat membuktikan dengan logika dan obyektifitas, lalu mencari agama lain yang lebih dapat diterima dengan nalar maupun perasaan.

Karena menurut saya, segala sesuatu yang masih bisa diubah-ubah oleh manusia adalah Ciptaan Manusia.

Dari makna itulah, saya mencoba mencari-cari dengan bertanya kepada om Google, ada gak ya, Agama yang menawarkan pembuktian kemutlakan Tuhan Yang Maha Esa, tanpa menggunakan kuncian Iman???

Hingga saya menemukan sebuah blog yang bertutur mengenai pengalaman pribadinya, mengenai kepindahan dari agama (hasil turun temurun tanpa ia pun mengerti), dan memeluk Agami Jawi. Yang lebih bijak lagi dari penulis Blog tersebut, dia mengatakan bahwa, semua orang dapat memulainya, dengan caranya masing-masing, tetapi pasti nantinya akan mendapatkan jalannya yang hakiki untuk berinteraksi dengan Ghusti.

Terimakasih sobat atas penjelasannya, semoga blog kamu tidak ditutup oleh DepKopInfo (yang mayoritas orang-orangnya pemeluk "Agama Import"), karena membuat pembelajaran yang positif (bagi kami yang berfikir logis dan Obyektif), dan memberi pencerahan, bahwa Agama adalah sesuatu yang sangat logis, tanpa ke-Iman-an yang subyektif dan mengada-ada, sambil menghilangkan kesempatan orang untuk berfikir, sehingga dengan mudah dapat dihasut menjadi Teroris.

Ternyata dunia Maya ini sangat berjasa bagi pencarian jati diri saya, om Google dengan tulus memberikan semua info yang saya butuhkan.
Dan mulai sejak itulah, saya menganut "Agami Jawi," agamanya leluhur orang-orang yang bermukim di Nusantara Indonesia ini.

Catatan :
Ayo kita junjung arti kecintaan produk dalam negeri. Sehingga ibu-ibu kita bisa memakai kebaya asli pakaian Indonesia.

Mengapa Kejawen Tidak Mempunyai Rasul

Dalam pemahaman Kedjawen, kita semua ini UtusanNya. Jadi kita tidak memerlukan Rasul atau Perantara, untuk dapat berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Inti dari Kejawen adalah Manunggaling Kawulo Ghusti. Karena dengan Manunggaling Kawulo Ghusti, kita mengerti arti kebenaran yang sesungguhnya dan seutuhnya.

Seorang Kejawen memiliki hubungan yang khusus kepada sang Pencipta, tidak perlu memakai Perantara untuk mencapainya.

Oleh karenanya, untuk menjadi seorang Kejawen Sejati, kita memerlukan usaha yang ekstra untuk memahaminya, melalui Olah Roso. Tetapi, ketika kita sudah mendapatkan pola interaksi yang sakral tersebut, semuanya akan lebih mudah, dibanding dengan ritual semua agama yang ada di dunia ini.

Makna Kejawen: Kitab dan Pancing

Banyak orang memvonis, bahwa Kedjawen bukanlah agama, melainkan hanya kepercayaan semata. Dalilnya, karena Kedjawen tidak memiliki Kitab sebagai rujukan.

Bagi agama Rasul, Kitab menjadi penting karena memang agar para penganut agama mereka, tidak dapat atau tidak diizinkan berinteraksi langsung dengan sang Penciptanya.

Ibarat Pancing dan Ikan, dalam agama Rasul, para penganutnya langsung diberi ikan. Sehingga para penganutnya, seolah akan dapat lebih mudah untuk mengerti kaidah-kaidah komunikasi dengan sang Pencipta, dengan pola menghafal.

Sementara pada Kejawen, kita diberi pancing untuk mencari tahu bagaimana heningnya berkomunikasi dengan sang Pencipta, hal ini tidak perlu dihafal. Karena Olah Roso membuat kita berinteraksi sesungguhnya dengan sang Pencipta.

Makna Kejawen : Manunggaling Kawula Ghusti

Manunggaling Kawula Ghusti, merupakan makna yang dalam bagi Seorang Kejawen. Oleh karenanya banyak pemuka-pemuka agama yang non Kejawen, memelintir esensi dari makna Manunggaling Kawula Ghusti itu sendiri.

Hal ini tidak lain dan tidak bukan, untuk memuluskan pemasaran agama import yang dibawanya ke dalam Masyarakat Jawa yang sengkretis. (Mudah2an di kemudian hari Masyarakat Jawa lebih Waspada dengan pengaruh budaya asing)

Manunggaling Kawula Ghusti sama sekali bukan bermakna bersatunya kita dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Makna sebenarnya dari Manunggaling Kawula Ghusti adalah, bahwa hubungan seorang Kejawen dengan Tuhan Yang Maha Esa, tidak melalui perantara apapun seperti yang dilakukan oleh agama-agama Rasul.

Dalam pemahaman Kejawen, hubungan setiap orang kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah hubungan yang unik, karena pada awalnya setiap orang yang lahir di muka bumi adalah Titipan Tuhan Yang Maha Esa.

Pemelintiran tersebut, jelas untuk kepentingan penyebaran agama impor tersebut.

Catatan :
Unik adalah tidak ada duanya. Seperti dot com misalnya, tidak ada dot com yang kembar. Lebih mudahnya; kejawenonline.blogspot.com sementara secara formal ini milik saya, tidak ada orang lain secara formal yang dapat mengakui bahwa ini miliknya.

Analogi lain:
Jika kita mencintai dan menyayangi Ibu kandung kita, dan mengatakan bahwa Ibuku ada dalam diriku (hatiku) dan segenap aliran darahku. Apakah berarti badan Ibu kita ada dalam badan kita?

Itulah yang juga dimaksud dengan Manunggaling Kawulo Ghusti. Adalah sebuah rasa yang mendalam, dan komitmen untuk berprilaku dengan segenap hati yang bersih.

Bukan seperti yang diartikan; mempersatukan Tuhan dengan diri kita.
Lagi-lagi ini adalah sebuah pemelintiran dari agama impor.

Makna Kejawen : Tuhan, Anak-anak Kita, dan Kita

Bicara mengenai hubungan Tuhan Yang Maha Esa dengan Kita, dapat digambarkan dari hubungan Tuhan Yang Maha Esa dengan anak-anak kita.

Semua agama di dunia, juga mempunyai pemahaman yang sama, bahwa Anak adalah Titipan Tuhan Yang Maha Esa Kepada Kita.

Artinya: dari kelahirannya, Anak Kita memiliki hubungan yang khusus dengan Tuhan Yang Maha Esa, sampai-sampai kita dititipkan oleh Nya.

Apa kewajiban kita untuk dapat mengabdi pada Nya, yakni membimbing anak-anak kita ke jalan yang Berbudi Luhur. Mengapa?

Karena nantinya anak-anak kita pun akan mendapat titipan dari Nya.

Sirkulasi ini berjalan terus berulang hingga akhir zaman.

Kenapa anak disebut sebagai Titipan Tuhan Yang Maha Esa?
Karena kelak, dirinya akan menjadi Utusan Nya dalam membimbing anak-anak mereka.

Di sinilah esensi hubungan kita (Kejawen) dengan Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita semua kelak sebagai utusan Nya, yang wajib menjaga keharmonisan antara kita semua termasuk Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb

Sifat Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

“Absolut”, “Serentak dan Seragam”, “Tidak bisa berubah dan diubah-ubah”, “Tidak perlu dipelajari dan dihafalkan”

NAFAS

Absolut?
Ya,
karena setiap manusia dan binatang hidup pasti menghisap Oksigen dan tidak bisa digantikan dengan zat lain

Serentak dan seragam?
Ya,
karena di seluruh belahan dunia semua orang memiliki gaya nafas yang sama, tanpa adanya sosialisasi

Tidak bisa berubah dan diubah-ubah?
Ya,
karena orang tidak bisa merubah gaya nafasnya atau yang dihirupnya

Tidak perlu dipelajari dan dihafalkan?
Ya,
karena pada saat kita lahir, kita tidak perlu mempelajari dan menghafalnya bagaimana cara bernafas

AGAMA

Absolut?
Tidak,
karena ada banyak pilihan Agama di dunia ini, meskipun semuanya meng-klaim merekalah yang paling benar. Kondisi ini justru banyak menimbulkan peperangan yang sebenarnya dibenci oleh Nya

Serentak dan Seragam?
Tidak,
karena tidak ada satupun Agama di dunia yang tidak memerlukan sosialisasi untuk pengembangannya / pemasarannya. Di lain pihak, semua agama bermula dari kepercayaan lokal (tidak serentak, dan perlu sosialisasi)

Tidak bisa berubah dan diubah-ubah?
Bisa,
karena orang dapat mengubah ayat-ayat atau doa-doa dalam Kitab Ajarannya, dan kemudian dicetak ulang dengan sampul yang sama. Yang saat ini kita dapat lihat banyak bentrokan internal di Agamanya sendiri, karena ada pihak yang merasa, bahwa kelompok lain telah mengubah kaidah Agama dalam Kitab Ajarannya, sementara menurut salah satu pihak, milik merekalah yang lebih asli.

Tidak Perlu dipelajari dan dihafalkan?
Justru harus dipelajari dan dihafalkan terlebih dahulu, karena tanpa mempelajari dan menghafalnya, maka kita tidak dapat berprilaku menurut Agama yang dianut.

Catatan:
Melihat logika di atas, maka tidak heran jika terjadi banyak peperangan di sana-sini. Karena mayoritas Agama ingin benarnya sendiri, dengan pembenaran diri atas nama utusan Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Jawi mengajarkan teposeliro atau tenggangrasa atau lebih menekankan pada empati, ketimbang pembenaran diri atas nama utusan Tuhan Yang Maha Esa.
Ditinjau sedikit lebih jauh, pertanyaannya, apakah orang tua kita rela dan mau melihat anak-anak mereka berkelahi satu sama lain. Kalau orang tua kita saja tidak rela dan tidak mau, apalagi Tuhan Yang Maha Esa. Jadi intinya Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah membuat agama. Dengan kita mengakui agama-agama tersebut buatan Tuhan Yang Maha Esa, sementara mereka saling bertikai, maka sama saja kita mengecilkan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.

Sembahyang

Bagaimana sembahyang ?
Untuk sembahyang sehari-hari, yang saya lakukan adalah pada saat “Bangun Tidur” dan ketika “Menjelang Tidur”.

Maknanya; Orang Lahir (Bangun Tidur) dan Meninggal (Tidur)

Bagaimana posisi sembahyang?
Kita cukup terlentang layaknya orang tidur, dengan "Telapak Tangan Kiri Diletakan Tepat di atas Jantung", dan "Telapak Tangan Kanan Diletakan Tepat di atas Puser.

Maknanya; Jantug (Organ Vital Kehidupan - Yang membersihkan Getih / Darah), dan Puser (Tali Kehidupan Ketika Kita di dalam Kandungan)

Apa doanya ketika sembahyang?

Bangun Tidur
Terimakasih Ghusti, saya diberi kesempatan kembali untuk hidup hari ini. “Saudara Papat limo pancer", mari kita sama-sama menikmati hari ini dengan baik, semoga hidup kita juga bermanfaat bagi Ghusti dan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb).

Menjelang Tidur
Ghusti, terimakasih untuk hari ini. Niat saya tidur, ikhlas dan pasrah pada Ghusti. “Saudara Papat limo pancer", selamat tidur, badan tidur hati tetap bangun. Terimakasih, sudah bersama-sama dengan saya dari Bangun Tidur hingga Tidur Kembali.

Eling
Sebelum melakukan segala sesuatu, sebagai seorang Kejawen harus Eling lan Waspodo. Arti kekiniannya, kita harus selalu sadar dan konsentrasi pada apa yang kita akan lakukan. Tetapi arti yang sebenarnya, kita harus selalu ingat dengan Ghusti, dan bahwa segala sesuatu kejadian tidak lepas dari interaksi kita dengan segala sesuatu di sekitar kita termasuk alam, sesepuh, dan mahluk halus lainnya.

Sembayang lainnya:
Dapat dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, Berdiri, maupun Terlentang.
Selain sembahyang wajib, akan lebih baik dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, "Telapak Tangan Kiri Menempel di Dada, dan Telapak Tangan Kanan Menempel pada Puser", atau dengan "Tangan Kanan di Bawah Tangan Kiri".

Makna Tangan Kanan di Bawah Tangan Kirinya; Yang Kotor di Bawah Yang Bersih (Darah Bersih dari Jantung mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kiri, sementara aliran Darah Kotor mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kanan).

Menyembayangi orang Meninggal:
Doanya : Dari Surga kembali ke Surga. Ghusti mohon ampunan untuk teman, saudara, dlsb.(bisa 3 x atau 7 x) Semoga dapat kembali ke asalnya, dengan jalan yang lurus dan terang. Dari Surga kembali ke Surga.

Catatan:
Diakhir sembahyang atau doa, mengapa kita tidak menggunakan kata Amin?
Kata Amin, jika diterjemahkan adalah: kabulkanlah!
Kata kabulkanlah, adalah kata perintah. Jadi, tidak sepantasnya kita memerintah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya, "berterimakasihlah" setiap menyudahi sembahyang atau berdoa. Karena kata itulah kebalikannya dari kata Amin
Untuk bahasa Jawa-nya; matursembahnuwun Ghusti
Untuk bahasa Indonesianya; Terimakasih Ghusti
Ghusti selalu memberikan kita yang terbaik, masa manusia masih menyusuruh mengabulkan keinginan serakahnya.

Sesajen atau Sajian

Mengapa seorang Kejawen Sejati memberikan Sesajen?
Hal ini dikarenakan oleh tata krama sopan santun kepada Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb), yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.

Analoginya, dengan kita menyembah Ghusti, tidak berarti kita tidak menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita. Dalam kehidupan ini, Agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan pula dalam pola sopan santun kepada “Mahluk Halus” yang termasuk dalam kategori Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb) yang ada di sekitar kita.

Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabannya; tentu tidak khan!

Mengapa malam Jumat?
Seorang Kejawen mempercayai, bahwa malam Jumat adalah malam dimana para “Sesepuh” (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.

Apa yang disuguhkan?
Untuk menghormati para “Sesepuh”, kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu kita, minuman (Teh atau Kopi - tidak menutup kemungkinan jika kita juga ingin menyediakan rokok, bunga melati - sebagai wangi-wangian, dlsb) sebagai simbol penghormatan kita kepada para “Sesepuh” atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada para “Sesepuh”, maupun "Mahluk Halus" yang kita rasa sering berkunjung ke rumah kita.

Mengapa disebut Sesepuh?
Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh di atas kita. Sehingga mereka layak disebut "Sesepuh". Begitu juga Kakek Buyut kita atau Orang Tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka selalu menengok anak cucu-nya pada malam Jumat.

Jadi kita tidak menyembah Sesepuh kita melebihi Ghusti?
Absolut tidak. Kalau dibalik dengan pertanyaan. Apakah Anda menyuguhkan kenalan Anda waktu mereka bertamu ke rumah Anda, berarti Anda menyembah tamu Anda?

Mengapa waktu memberikan Sesajen, bersikap seolah menyembah?
Ini memang ada kesalahan gesture antara menyembah Ghusti, dengan memberi hormat kepada “Sesepuh”.

Sebenarnya dalam Kejawen menjembah Ghusti, tangan diletakan diatas kepala atau bersentuhan dengan dahi.
Yang memiliki makna; Posisi Ghusti adalah absolut di atas segala-galanya

Sedangkan untuk memberi salam hormat kepada “Sesepuh” tangan/jempol menyentuh dagu. Yang memiliki makna; bahwa seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.

Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol menyentuh dada.
Yang memiliki makna; bahwa seorang kejawen menghormati sesamanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas

Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb)

Empat Sila Utama Pola Hubungan

Berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar diri kita :

1. "Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi" : artinya, kita yang Eling, seyogyanya harus selalu mengingat dan menyembah Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Ghusti yang Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dan berkarya di alam yang Indah ini.

2. “Setyo marang Penggede Negoto”: artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya yang baik dan bijaksana.

3. “Bekti marang Bhumi Nusontoro” artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga kelestarian Alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang hidup di atasnya.

4. “Bekti Marang Wong Tuwo” : artinya, kita tidak dengan serta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara Ibu dan Ayah, maka hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti kepada Ayah dan Ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih kehidupan disini.

5. “Bekti Marang sedulur Tuwo” : artinya, menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik tua secara umur, secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.

6. “Tresno marang kabeh kawulo Mudo” : artinya, menyayangi kawulo yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.

7. “Tresno marang sepepadaning manungso” : artinya, yang perlu diingat dan dicamkan dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua manusia sama nilainya dihadapan Ghusti". Karenanya, hormatilah sesamamu, dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama dengan mu, dan sederajat dengan manusia lainnya. cintailah sesamamu dengan tulus ikhlas.

8. “Tresno marang sepepadaning Urip” : artinya, semua yang di ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Ghusti yang Kuasa, karena mereka memiliki fungsi masing masing, dalam melestarikan kita bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun telah menghargai dan menghormatiNya.

9. “Hormat marang kabeh agomo “ : artinya, hormatilah semua agama atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur.

10. “Percoyo marang Hukum Alam” : artinya, selain Ghusti menurunkan kehidupan, Ghusti juga menurunkan Hukum Alam dan menjadi hukum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.

11. “Percoyo marang kepribaden dhewe tan owah gingsir” : artinya, manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya, dan dapat menempatkan diri di hadapan Ghusti, agar selalu mendapat lindungan dan rahmatNya, dalam menjalani Hidup dan kehidupan ini. Dengan terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.

12. “Bekti Marang Mahluk Lainnya” : artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya "Tresno marang sepepadaning manungso"

12 Makna di atas sebenarnya merupakan penjabaran, bagaimana sebaiknya seorang Kejawen harus berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar dirinya:
1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia

Dalam urutan di atas, jelas, bahwa Hubungan Manusia dengan sesama Manusia adalah hubungan yang paling Rendah. Di sinilah filosofinya, bahwa Manusia harus menyayangi semua kehidupan, agar hidup ini bahagia. Jadi seorang Kejawen Sejati, jangan pernah mengatakan bahwa Manusialah mahluk yang paling sempurna. Karena pikiran itu, akan membuat diri ini ingin menang sendiri.

Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)

Menyayangi semua kehidupan bukan berarti memberi toleransi pada kejahatan yang dilakukan oleh Pihak Lain (Orang lain, dan Mahluk Lain)

Puasa

Apapun nama dan pelaksanaannya, bila dilakukan dengan niat yang tulus, maka tak mungkin akan membuat manusia yang melakoninya akan celaka. Intinya adalah, ketika seseorang berpuasa dengan ikhlas, maka orang tersebut akan terbersihkan tubuh fisik dan eteriknya dari segala macam kotoran.

Bahkan medis mampu membuktikan, betapa puasa memberikan efek yang baik bagi tubuh, terutama untuk mengistirahatkan organ-organ pencernaan.

Berbagai Macam Puasa bagi seorang Kejawen

1. Mutih
Dalam puasa mutih ini, kita tidak boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tidak boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air putih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya, dan membaca doa : “niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahirdipun semua karena Gusti.”

2. Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini, kita hanya boleh memakan Sayuran / Buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan Daging, Ikan, Telur dsb.

3. Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh Makan, Minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.

4. Patigeni
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaannya adalah, tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah doa puasa patigeni : “niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka karena Gusti”.

5. Ngelowong
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas. Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong, dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.

6. Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari jam 3 pagi sampai jam 18. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini, hanya boleh makan buah-buahan saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu, tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.

7. Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih, perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.

8. Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.

9. Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.

10. Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.

11. Senin-Kamis
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Dari jam 3 pagi sampai jam 18.

12. Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.

Dosa

Bagaimana seorang Kejawen melihat Dosa?
Dosa adalah perasaan yang timbul sebagai hasil dari perbuatan yang merugikan pihak lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)

Bagaimana kita bisa merasa berdosa?
Dalam "Budi Jawi" yang dipentingkan adalah Olah Roso, karena dari Olah Roso, maka kita tahu apakah sebuah perbuatan itu benar atau salah. Untuk memudahkan, perasaan seseorang selalu dikembalikan kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, jika kita memukul orang lain, bagaimana kalau kita dipukul oleh orang lain? Karena rasa sakit itu akan ada kesamaannya, jika kita yang dipukul.

Apakah Dosa dicatat oleh Ghusti?
Ghusti tidak mencatat dosa kita. Yang mencatat adalah diri kita sendiri (Kalau di-analogi-kan saat ini - setiap Manusia membawa Smart Chips nya masing-masing). Semua berpulang pada keikhlasan kita masing-masing. Apakah kita dapat berbuat ikhlas dalam kondisi yang dibalik? Jawabannya ada pada Olah Roso.

Apa itu Roso dalam Budi Jawi?
Roso merupakan sebuah atmosfir dalam diri seseorang yang diterjemahkan oleh hati, panca indra, dan pikiran kita sendiri.

Dapatkah Roso, kita bohongi atau berbohong kepada kita?
Kalau kita menjalankan dengan baik dan ikhlas, serta menggunakan hati nurani, panca indra dan pikiran kita sendiri, maka Roso itu tidak dapat berbohong atau dibohongi.


Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)

Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik

Tidak ada satu Agama pun di dunia, yang bisa membuat orang jadi baik. Yang ada; Orang baik dan mempunyai niat yang baik, menggunakan Agama apa pun, untuk tujuan kebaikan. Pasti dia akan jadi baik.
Jadi pilihlah Agama yang sesuai dengan Hati Nurani.